Dualisme Kesenian dan Asimilasi Kesenian

Peta perkembangan kesenian Jawa Timur dari dulu hingga saat ini menuju pola yang menarik yaitu di satu sisi muncul pola dualisme antara kesenian tradisional atau kesenian rakyat dan kesenian modern. Di sisi lain ada pula pola kesenian modern yang mengambil dasar kesenian rakyat atau tradisional. Dualisme dalam konsep ini seperti yang ditulis oleh Boeke yaitu dua jenis kesenian yang berkembang secara sendiri-sendiri, tidak saling mempengaruhi satu sama lain, sehingga tidak pernah bertemu. Dua jenis kesenian ini seperti sepasang rel kereta api, selalu sejajar, tetapi tidak pernah bertemu dalam satu titik.

Dualisme kesenian rakyat dan modern berarti kesenian rakyat (tradisional) dan modern berkembang secara sendiri-sendiri, tidak saling mempengaruhi, tidak pernah bertemu dalam satu titik tertentu, tetapi selalu sejajar dari hulu sampai dengan hilir. Dualisme kesenian Jawa Timur antara kesenian rakyat (tradisional) dan modern sejak awal eksistensinya hingga arah perkembangan berada dalam paradigma yang berbeda. Baik kesenian rakyat (tradisional) dan modern hidup dan berkembang di atas formasi sosial yang berbeda. Kesenian rakyat atau kesenian tradisional Jawa Timur sejak dulu berkembang di atas formasi sosial agraris tradisional. Formasi sosial masyarakat Jawa Timur sangat menentukan pola dan arah perkembangan kesenian rakyat (tradisional) Jawa Timur seperti formasi sosial masyarakat Pendalungan, Mataraman, Arek, dan Osing.

Formasi sosial agraris tardisional Mataraman, Pandalungan, Arek, dan Osing itu menentukan lingkup, arah perkembangan, estetika, artistik, dan pola distribusi kesenian rakyat (tradisional) Jawa Timur. Para seniman rakyat (tradisional) sebagian besar adalah buruh tani, petani penggarap, pekerja perkebunan, nelayan, pekerja musiman, dan pekerja seni rakyat itu sendiri (hasil wawancara Tribroto di Jombang[*]). Kesenian rakyat (tradisional) hidup dari komunitas sosial sekitarnya dengan cara ditanggap untuk kepentingan sedekah desa, hari nasional, hajatan warga, sunatan, perkawinan, dan kepentingan upacara sosial masyarakat desa tersebut. Kesenian rakyat (tradisional) seringkali hidup dan bertahan karena kebutuhan artistik dan atau spiritual masyarakat daerah setempat.

Kesenian rakyat (tradisional) pada umumnya diproduksi secara kolektif oleh komunitas daerah itu, meskipun para anggotanya bisa dari asal yang heterogen (dari berbagai orang dengan asal daerah bermacam-macam). Banyak cerita kesenian rakyat (tradisional) itu berasal dari mitos, cerita agama, kisah nabi, kisah wali, kerajaan atau aristokrasi, legende tentang sungai, daerah, dan nilai pitutur bagi generasi kemudian. Karena itu kesenian rakyat (tradisional) itu sering dinilai bersifat kolektif dan karyanya anonim, meskipun saat ini mulai banyak ”sentuhan” karya individual dalam karya seni rakyat (tradisional) itu.

Salah satu ciri khas lain dari kesenian rakyat (tradisional) adalah mempertahankan ”tradisi”atau kebiasaan artistik yang sudah ada. Artinya kesenian rakyat (tradisional) selalu menjaga ciri kesenian rakyat (tradisional) yang ada, dari mulai dibuat, baik mengenai pola artistik, cerita, bentuk penampilan, hingga esensi cerita yang hendak disampaikan. Dalam konteks ini sebenarnya kesenian rakyat (tradisional) adalah pelestari dan penjaga tradisi artistik dan spiritual masyarakat daerah tersebut.

Sangat masuk akal kalau Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berusaha menjaga tradisi masyarakat dengan cara mensuplai dana besar sekali dari APBD dan APBN.

Distribusi dana besar dari negara kepada kesenian rakyat (tradisional) di samping untuk melestarikan nilai nilai tradisi (dianggap luhur) juga untuk mempertahankan dan mengembangkan budaya indigeneous (BI) dalam masyarakat Jawa Timur.

Sementara itu kesenian modern tumbuh dalam formasi sosial perkotaan dan status sosial yang heterogen. Para seniman modern sering berasal dari psikologi ”perlawanan” atau kritis terhadap sistem sosio-kultural yang melingkupinya. Gunawan Muhamad merumuskan penyair adalah ”Malin Kundang”, sebagai simbol tokoh alienasi dari keadaan sekitarnya. Para seniman modern sebagian berasal dari akibat proses modernisasi sosio-ekonomi, kapitalisasi, perkembangan pendidikan modern, dan proses globalisasi informasi. Dalam proses transformasi semacam itu para seniman modern muncul sebagai gejala ”Malin Kundang”. Para seniman modern banyak berasal dari para intelektual, jurnalis, pekerja sosial, pekerja seni, guru, pegawai swasta, dosen, dai, dan sebagainya.

Seniman modern berasal dari formasi sosial heterogen, individual, dan sedikit banyak dihinggapi ”penyakit” Malin Kundang. Karena itu bahasa kesenian para seniman modern itu sangat heterogen, kadang terasa individual, tetapi yang jelas berada dalam format inovasi, pembaharuan, dan minimal kreativitas. Ini artinya kesenian modern merupakan gejala individual, inovasi, dan bukan pelestari tradisi sistem tradisional. Bahkan kesenian modern sedikit banyak hasil dari tradisi intelektual yang kuat (yaitu skeptis) dan seringkali memberontak atau melawan atau membongkar tradisi masyarakat. Posisi seniman modern dan kesenian modern yang dihinggapi ”penyakit” Malin Kundang, menolak tradisi, pembaharuan, dan berdiri di atas eksperimentasi itu yang menyebabkan negara kurang intensif memberi bantuan atau dorongan (suplai) dana besar seperti kesenian rakyat (tradisional). Kesenian modern bukanlah penjaga dan pewaris tradisi, tetapi mewacanakan tradisi dan berbagai nilai kehidupan dalam pandangan skeptis, kreatif, dan inovatif.

Tradisi kesenian modern adalah perubahan dan perspektif universal. Ini artinya kesenian modern mempunyai akar tradisi fenomena dinamis kemanusiaan dan tradisi dialektika intelektual dunia. Dengan demikian kesenian modern secara teoritis dan metodologi mempunyai sejarah internasional dan universal, meskipun sering secara faktual berkembang adopsi dan sinkretis dengan tradisi lokal. Kesenian modern dimainkan, dipamerkan, dan dimuat untuk kepentingan apresiasi seni dan komersial. Teater modern dimainkan sebagian besar untuk alasan apresiasi dan sangat sedikit untuk kepentingan komersial. Begitu pula sajak, cerpen, novel, dan roman dimuat di media massa atau dibukukan pada umumnya untuk nilai apresiasi, meskipun nilai komersialnya tetap katut. Tidak lumrah dalam hajatan, misalnya perkawinan, menanggap pembacaan cerpen atau puisi. Sangat lumrah kalau dalam hajatan perkawinan menanggap wayang kulit atau ludruk atau lawakan.

Secara makro kesenian modern dan para senimannya berada dalam jaringan formasi sosial global nasional maupun internasional, tetapi kesenian rakyat (tradisional) berada dalam formasi sosial agraris tradisonal (lokal atau indigeneous). Dua paradigma kesenian, rakyat (tradisional) dan modern, ini menyebabkan timbulnya dualisme perkembangan kesenian di Jawa Timur. Kesenian modern berkembang dalam paradigma, komunitas, dan pola produksi yang berbeda dengan kesenian rakyat (tradisional). Dalam banyak hal 2 paradigma ini sulit bisa bertemu dalam proses perkembangannya. Mereka mempunyai sejarah masing masing dan tidak banyak adanya unsur saling mendukung. Kalau ada saling membantu atau mendukung biasanya temporer sekali. Untuk menjadi paradigma ke-3 nampaknya sulit sekali.

Dualisme perkembangan kesenian rakyat (tradisional) dan modern ini tidak berarti tidak ada kesenian modern mendapat inspirasi atau dasar nilai dan penciptaan dari kesenian rakyat (tradisional). Banyak kesenian modern mendasarkan dirinya dari nilai sosial masyarakat dan kesenian tradisional (rakyat). Sajak sajak W.S Rendra, untuk contoh nasional, mendapat inspirasi dari pantun, meskipun banyak pengamat sastra menilai juga banyak dipengaruhi oleh sajak sajak Gracia Lorca. Karya instalasi Mulyono banyak dipengaruhi oleh kesenian rakyat Tulungagung. Begitu pula wayang kulit kontemporer Harman, dosen Unesa Surabaya, banyak mengambil dasar patron wayang kulit klasik, tetapi karya-karya modern dan kontemporer itu mempunyai proses perkembangan dan produksi yang berbeda dengan karya asli kesenian rakyat (tradisional).

Fenomena dualisme kesenian rakyat (tradisional) dan modern ini diperkuat oleh sikap birokrasi kesenian Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan semua birokrasi kesenian Pemerintah Kota dan Kabupaten seJawa Timur. Hal itu nampak dari sikap dan policy Dinas Pendidikan dan Kebudayaan atau Dinas Pariwisata disemua kabupaten/kota seJawa Timur hanya mendata jenis kesenian rakyat (tradisional). Data formal kesenian yang menjadi acuan program mereka hanya kesenian tradisional (rakyat). Tidak banyak kelompok kesenian modern diadministrasikan dengan baik oleh birokrasi kesenian pemerintah daerah ini. Misalnya Dinas Pariwisata Surabaya dari dulu tidak pernah mencatat kelompok teater Surabaya seperti Bengkel Muda Surabaya, Teater API, Teater Ragil, Teater Jaguar, dan sebagainya. Dinas Pariwisata selalu mencatat teater adalah teater tradisional, seperti ludruk. Bahkan yang banyak dicatat oleh Dinas Pendidikan dan atau Kebudayaan atau Dinas Pariwisata kabupaten/kota seJawa Timur adalah grup musik dangdut, orkes melayu, dan campursari.

Data formal kesenian di kabupaten/kota menimbulkan 2 penafsiran, pertama data kesenian itu dilakukan asal catat sesuai dengan kemampuan dan kepentingan mereka di daerah sehingga sangat dimungkinkan sebagian besar data itu kurang representatif. Yang dicatat adalah jenis kesenian yang dikenal mereka saja atau menguntungkan kepentingan mereka saja. Atau penafsiran kedua, data kesenian di daerah itu dicatat dengan antusiasme berlebihan. Mereka mencatat apa saja kesenian yang dikenal pemerintah daerah. Akibatnya banyak jenis kesenian itu yang sebenarnya sudah bubar.

III. KESIMPULAN

Kesenian rakyat (tradisional) pada umumnya diproduksi secara kolektif oleh komunitas daerah itu, meskipun para anggotanya bisa dari asal yang heterogen (dari berbagai orang dengan asal daerah bermacam-macam). Banyak cerita kesenian rakyat (tradisional) itu berasal dari mitos, cerita agama, kisah nabi, kisah wali, kerajaan atau aristokrasi, legende tentang sungai, daerah, dan nilai pitutur bagi generasi kemudian. Karena itu kesenian rakyat (tradisional) itu sering dinilai bersifat kolektif dan karyanya anonim, meskipun saat ini mulai banyak ”sentuhan” karya individual dalam karya seni rakyat (tradisional) itu.

Salah satu ciri khas lain dari kesenian rakyat (tradisional) adalah mempertahankan ”tradisi”atau kebiasaan artistik yang sudah ada. Artinya kesenian rakyat (tradisional) selalu menjaga ciri kesenian rakyat (tradisional) yang ada, dari mulai dibuat, baik mengenai pola artistik, cerita, bentuk penampilan, hingga esensi cerita yang hendak disampaikan. Dalam konteks ini sebenarnya kesenian rakyat (tradisional) adalah pelestari dan penjaga tradisi artistik dan spiritual masyarakat daerah tersebut.

Seniman modern berasal dari formasi sosial heterogen, individual, dan sedikit banyak dihinggapi ”penyakit” Malin Kundang. Karena itu bahasa kesenian para seniman modern itu sangat heterogen, kadang terasa individual, tetapi yang jelas berada dalam format inovasi, pembaharuan, dan minimal kreativitas. Ini artinya kesenian modern merupakan gejala individual, inovasi, dan bukan pelestari tradisi sistem tradisional. Bahkan kesenian modern sedikit banyak hasil dari tradisi intelektual yang kuat (yaitu skeptis) dan seringkali memberontak atau melawan atau membongkar tradisi masyarakat. Posisi seniman modern dan kesenian modern yang dihinggapi ”penyakit” Malin Kundang, menolak tradisi, pembaharuan, dan berdiri di atas eksperimentasi itu yang menyebabkan negara kurang intensif memberi bantuan atau dorongan (suplai) dana besar seperti kesenian rakyat (tradisional). Kesenian modern bukanlah penjaga dan pewaris tradisi, tetapi mewacanakan tradisi dan berbagai nilai kehidupan dalam pandangan skeptis, kreatif, dan inovatif.

Tradisi kesenian modern adalah perubahan dan perspektif universal. Ini artinya kesenian modern mempunyai akar tradisi fenomena dinamis kemanusiaan dan tradisi dialektika intelektual dunia. Dengan demikian kesenian modern secara teoritis dan metodologi mempunyai sejarah internasional dan universal, meskipun sering secara faktual berkembang adopsi dan sinkretis dengan tradisi lokal. Secara makro kesenian modern dan para senimannya berada dalam jaringan formasi sosial global nasional maupun internasional, tetapi kesenian rakyat (tradisional) berada dalam formasi sosial agraris tradisonal (lokal atau indigeneous). Dua paradigma kesenian, rakyat (tradisional) dan modern, ini menyebabkan timbulnya dualisme perkembangan kesenian di Jawa Timur.

Dualisme perkembangan kesenian rakyat (tradisional) dan modern ini tidak berarti tidak ada kesenian modern mendapat inspirasi atau dasar nilai dan penciptaan dari kesenian rakyat (tradisional). Banyak kesenian modern mendasarkan dirinya dari nilai sosial masyarakat dan kesenian tradisional (rakyat).

[*] Hasil wawancara Tribroto dengan beberapa seniman rakyat di daerah Jombang, Mojokerto, dan Kediri sekitar minggu pertama bulan Oktober 2005.


Satu Tanggapan

  1. kumaha maneh we…….

Tinggalkan komentar