Melihat dari Dekat Kesenian Ujung yang Mulai Terlupakan

Tiga Kali Lecutan, Pemain Disiapi Honor Rp 10 Ribu dan Pisang
Meski tubuhnya dipukuli rotan dan terluka, namun tetap tesenyum dan berjoget di atas panggung mengikuti irama. Pemandangan itu sebagian dari kesenian ujung, kesenian tradisional yang awalnya dilakukan untuk meminta hujan ini
ABI MUKHLISIN, Mojokerto
ALUNAN suara gamelan rancak terdengar dari ujung gang di Dusun Pendowo Desa Ngrowo Kecamatan Bangsal Kabupaten Mojokerto. Semakin lama, musik kian ingar-bingar. Sesekali, suara riuh berbalut sorakan yang muncul dari kerumunan orang.
Suasana riuh itu berasal dari sebuah pertunjukan yang tersaji siang kemarin sekitar pukul 13.00.
Sebuah pertunukan kesenian tradisional yang jarang muncul, terutama di acara-acara resmi. Ujung, demikian orang-orang di sekitar lokasi menyebut nama kesenian itu.
Di sebuah arena, ratusan warga rela berdesakan untuk melihat dari dekat para para pria yang bertelanjang dada beraksi. Lagi-lagi sorakan muncul dari kerumunan. Sorakan itu menyambut aksi memukau dua pria di atas panggung.
Satu tampilan selesai, giliran tampilan selanjutnya. Dua orang pria mendadak bangkit dari dua sudut berbeda. Keduanya tidak mengenakan baju alias bertelanjang dada. Keduanya memberikan isarat sudah siap.
Memang, selain kedua pria itu, di atas panggung juga terdapat seorang wasit utama dibantu dua wasit lain yang bertindak mencari jago. Masih ada seorang lagi yang membawa bokor berisi beras kuning sembari tangannya memegang pisang.
“Kalau di kesenian ujung disebut Kemlandang. Tugasnya memang seperti wasit, mengatur permainan,” ungkap Sri Waluyo Widodo, yang siang itu bertindak sebagai Kemlandang.
Dua orang pria yang telah siap itu mendadak dibagikan masing-masing sebatang rotan. Rotan itu tidak besar, bahkan pria itu begitu mudah membengkokkan. Dengan aba-aba Kemlandang, kedua pria itu pun silih berganti menghujamkan rotan itu ke bagian tubuh yang tak berbaju. Sekali terkena, tubuh itu pun terluka. Tess! Tess! Suara sabetan rotan terdengar. Terus dan terus sampai tiga kali.
“Namun, kalau ada yang baik, baik cara memukul maupun menangkis bisa dibanjir. Sehingga, tidak dibatasi tiga kali, melainkan bisa dilanjutkan sampai lima kali,” kata Widodo, panggilan akrab Ketua Paguyuban Ujung Moyang Wijaya Salen ini.
Kesenian itu berbeda dengan kesenian lainnya yang lebih mengedepankan keindahan, keluwesan dan keterampilan. Kesenian Ujung, justru lebih menonjolkan kekerasan. Saat itu, kelompok kesenian Ujung dari Salen Kecamatan Bangsal dipanggil untuk menghibur dalam rangka hajatan warga Pendowo.
Usai berlecutan ria menggunakan rotan, kedua pria itupun menerima honor yang telah disiapkan orang yang punya hajat. Kalau tiga kali pukulan, per orang Rp 10 ribu plus satu buah pisang. Namun, kalau sampai banjir, honornya akan lebih besar, yaitu Rp 15 ribu. “Larangan keras, bagi mereka yang bermain ujung memukul bagian di bawa perut dan leher ke atas,” kata pria berusia 47 tahun yang kala itu mengenakan setelah pakain hitam dipadu ikatan sarung di punggung hingga ke lutut dan mengenakan ikat kepala.
Sementara itu, di bawah panggung seorang pria bernama Sarmidi, 42, terlihat sibuk memakai baju. Dia usai beraksi di atas panggung. Di bagian punggungnya jelas terlihat luka memanjang dengan lebar seukuran rotan. Dia mengaku tidak khawatir dengan lukanya tersebut.

Dia datang dari desa lain, Plosorejo Kecamatan Kutorejo Kabupaten Mojokerto memang sengaja ingin beraksi. Maklum, pria ini mengaku sudah menyenangi kesenian ujung sejak usia 15 tahun. “Tidak usah diobati. Sudah biasa dan tidak akan lama akan sembuh sendiri,” ungkapnya.
Memang, terhadap luka tersebut Widodo mengakui jika akan sembuh sendiri dan tidak lama. Mistik, dirinya menyebut faktor di balik kesembuhan itu. Sayangnya, dia tidak menyebut lebih perihal tersebut. Termasuk pula dengan pembawa bokor. Selama pertunjukan berlangsung, pria itu selalu menyebar beras kuning. Bahkan, kalau ada pria yang bermain terluka, di atas panggung itu pula, pembawa bokor ini langsung mengoleskan kulit pisang. Lagi-lagi mistik. Meskipun menurut Widodo, ada maksud tersendiri. Menyebar beras kuning bertujuan membuang balak, baik orang mempunyai hajat maupun semua yang berada di lokasi, termasuk penonton.
“Ujung keberadaannya memang tidak seperti kesenian tradisional lainnya. Namun, kalau di Desa Salen sudah banyak. Bahkan, anak kecil sudah berani,” katanya.
Ujung sendiri ada pergeseran. Sekarang, menurutnya, sudah tidak ada kalah-menang. Namun, lebih menjadi sebuah hiburan. Kesenian Ujung berkembang sejak zaman Raden Wijaya membuka (babat) hutan Tarik yang kemudian hari bakal menjadi pusat Kerajaan Majapahit bersama pendukungnya mengalami berbagai kesulitan hambatan dan perlawanan dari para danyang, jin, peri, perayangan untuk menambah kekuatan fisik dan mental spiritual.
Raden Wijaya memberikan bekal jaya kawijayan/kesaktian menggunakan senjata Sodo Lanang. Atraksi kesenian Ujung diadakan pada saat hari baik tatkala bulan purnama di tempat khusus seperti tanah lapang, muka balai desa, muka pendopo agung dan candi-candi peninggalan Majapahit.
Kesenian Ujung perkembangannya sekarang menampilkan bentuk kreatif antara lain dengan menggunakan alat-alat pukul seperti rotan dan sejenisnya. Bahkan sebagian warga menganggap Ujung sebagai bagian ritual untuk mendatangkan hujan menjelang musim tanam.
“Selama ini, tidak ada yang sampai ribut. Setelah selesai di atas panggung, ya selesai dan baikan lagi. Namun, kalau ujung sendiri baiknya kalau digelar siang hari. Sebab, dengan cuaca panas, akan lebih membangkitkan emosi pemainnya,” ungkap Widodo sembari mengaku tidak perlu melakukan ritual khusus sebelum pentas. Yang ada, hanya keyakinan. (yr)

Radar Mojokerto, Senin, 24 Des 2007

Tinggalkan komentar