Yunani Pergi Tinggalkan Misteri

Oleh HENRI NURCAHYO

Budayawan dan wartawan senior R.M. Yunani Prawiranegara meninggal dunia Sabtu pagi (26/12) setelah dirawat selama 16 hari di RS Graha Amerta karena komplikasi, darah tinggi, diabetes dan kolesterol. Beberapa hari sebelum pergi, kondisinya sangat kritis karena harus mengalami pembedahan batok kepala segala karena penggumpalan darah di otak. Jenazah almarhum dimakamkan di TPU Putat, yang sebelumnya disemayamkan di rumah duka, Jalan Putat Jaya C Barat XI/20, Surabaya.

Inisial RM di depan namanya itulah yang masih menyisakan misteri. Masyarakat umum biasanya mengartikan RM sebagai akronim Raden Mas, sebuah gelar kebangsawanan. Ternyata, RM itu kependekan dari Rudolf Matius. Padahal, mantan wartawan Surabaya Post ini jelas-jelas muslim yang taat. Mengapa harus memakai seperti nama baptis?

Dalam perbincangan selama melayat, saya mencoba melacak ke beberapa sahabat lamanya, ternyata tidak satupun yang tahu asal usul nama Rodolf Matius itu. Ketika wartawan senior Yoesri Noer Raja Agam memberikan sambutan mewakili keluarga, didapat keterangan dari saudaranya, bahwa RM itu kependekan Rijalijanu. Trus M itu apa? Ternyata menurut adiknya,Yunani dilahirkan di Ngawi tanggal 1 Oktober 1948 dengan nama Muhammad Yunani, sebagai anak ketiga dari tujuh bersaudara.

Misteri belum terpecahkan, siapa Rijalijanu itu? Adik Yunani yang menjadi saudara nomor lima menceritakan, konon ketika Yunani masih dalam kandungan, ada seorang tentara yang datang menemui ibu Yunani dan berkata, kira-kira begini, “suatu hari nanti anakmu ini akan jadi orang yang berjasa, tolong dia beri nama Rijalijanu, biar suatu saat jelak saya bisa tahu bahwa itu nama pemberianku.”

Tidak ada penjelasan, mengapa harus nama yang sulit diucapkan itu, dan entah apa artinya. Dan siapa tentara itu, juga tidak jelas kabarnya. Yang jelas, ketika dilahirkan, namanya hanya Muhammad Yunani. Baru ketika masa remaja, tahu-tahu dalam artikel di media massa dia menulis namanya dengan sebutan RM Yunani. Jadi, RM itu kependekan Rijalijanu Muhammad. Lantas, Prawiranegara itu siapa? Kapan digunakan? Ini juga masih misteri.
Mengikuti logika Yousri, “itulah budayawan, memang begitu gayanya menyebut namanya sendiri.”

Anggota Tim Pelestari Cagar Budaya Surabaya ini memang dikenal sebagai wartawan budaya yang serius belajar. Terutama soal arkeologi, tulisannya sangat dalam, jelas terasa menguasai persoalan, sejak masih menjadi koresponden Surabaya Post untuk daerah Lumajang sekitar tahun 1980-an. Begitu pula ulasannya soal Islam, Budha dan Kristen.
Ketika Surabaya Post tutup, Yunani dan mantan karyawan mendirikan kembali Koran sore dengan nama Surabaya Post juga, kemudian berganti Surabaya News, dan akhirnya kembali menjadi nama Surabaya Post. Ketua Pleno Dewan Kesenian Surabaya dan anggota Pleno DK Jatim ini pensiun dari Surabaya Post tahun 2007, dan aktif memimpin redaksi majalah bulanan Mujahidin dan Yayasan Al Irsyad.

Produktifitasnya menulis seakan sulit dibendung. Saat tangan kirinya tidak bisa digerakkan, pria yang akrab disapa Romo Yunani ini terus bertanya-tanya apa bisa mengetik. Menurut isterinya, Sumiati (49), sepanjang berada di rumahsakit, juga selalu memaksa minta bisa mengetik. Sebelumnya, bapak dari Heti Palestina Yunani (33) dan Ahmad Romawi Yunani (24) ini juga sempat dirawat dan operasi di rumah sakit karena penyakit prostat dua bulan lalu. Meski begitu, dalam kondisi kurang sehat, penasehat Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) masih menyempatkan diri hadir di acara Etalase Budaya Panji di Candi Penataran, 21 – 22 November lalu, ditemani istri dan seorang cucunya.

Mantan aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) ini memang bukan sekadar wartawan, tidak sekadar menulis, tetapi juga aktif terlibat dan tidak segan-segan datang sendiri ke acara yang jauh di pedesaan atau lereng gunung sekalipun. Saya pernah sempat diprotes karena lupa mengundangnya dalam acara Kemah Budaya di Jolotundo sekian tahun yang lalu. Demikian pula saat ada Ruwat Bumi di Sidoarjo.

Yunani pula yang berani “melawan” ketika seorang pejabat purbakala mengecam seniman yang pentas di atas candi. “Apa seniman itu tidak tahu, bahwa ada larangan naik di atas batu candi,” kata si pejabat. Ketika pejabat itu bicara soal UU Cagar Budaya, Yunani menukas, “justru pemerintah sendiri yang melanggar Undang Undang, karena mendirikan bangunan permanen di zona satu yang jelas-jelas dilarang. Contohnya, Museum Trowulan.” Itu sekian tahun lalu, belum ada ribut-ribut soal Pusat Informasi Majapahit (PIM).

Namun dalam diskusi di pendopo Museum Penataran, justru Yunani yang mengusulkan agar melarang ada aktivitas apapun di atas candi, karena dikhawatirkan dapat merusaknya.
“ …… mulai sekarang harus tegas memberlakukan bahwa tidak boleh ada pemanfaatan zona inti di kompleks Candi Penataran untuk aktivitas apapun, termasuk menggelar pertunjukan dan aktivitas di bangunan di zona inti tersebut. Apa yang sudah terjadi selama ini merupakan pelajaran mahal, karena kalau hal ini diteruskan, merupakan bentuk vandalisme yang melanggar UU Cagar Budaya, yang akan berakibat terjadinya kerusakan pada bagian-bagian candi,” demikian bunyi Rekomendasi yang mengakomodasi usulan Yunani itu.

Dan yang menarik, point yang tertuang dalam Rekomendasi Penataran ini, malah dipertanyakan oleh arkeolog asal Jerman, Lydia Kieven, dalam emailnya.
“Saya heran membaca usulan untuk tidak boleh ada pemanfaatan zona inti di kompleks Candi Penataran. Pikiran saya justru terbalik: Baguslah kalau zona inti Panataran dipakai untuk kegiatan yang ada kaitan dengan candi dan dengan fungsi aslinya. Misalnya memberi pentas tarian, melakukan ritual dsb. Kok, di mana ada vandalisme dan kerusakan? Saya sering kali ke Candi Panataran, dan tidak pernah saya lihat vandalisme semacam itu. Candi Panataran sudah berabad-abad dipakai sebagai tempat pemujaan, dan relief-reliefnya masih sangat utuh karena bahannya kuat. Juru kunci di situs sangat waspada terhadap tempatnya,” tulis Lydia yang mengambil tesis Doktor di Sydney University soal Panji itu.

Lelaki yang suka mengenakan blangkon ini memang tak bisa berdiam diri. Ketika DKS vakum, dialah yang menggalang seniman agar mau menghidupkan kembali DKS. Meski dia sempat kecewa karena dicurigai berambisi menjadi ketua DKS.
Yunani pula yang sangat antusias ketika saya ajak terlibat dalam program Konservasi Budaya Panji. Seusai acara Pasamuan Budaya Panji di PPLH Seloliman, November tahun lalu, diam-diam Yunani langsung menulis buku Sosok Panji sebagai Pahlawan Budaya. Naskah itu diserahkan ke saya agar diterbitkan DK Jatim. Dan dalam acara diskusi intensif terbatas di CCCL Surabaya, April 2009, naskah tersebut menjadi bahasan utama.

Dan akhirnya, tulisan Yunani itu, berserta sejumlah makalah acara di PPLH dan CCCL serta catatan dari Lydia Kieven, saya kumpulkan dalam buku antologi berjudul “Konservasi Budaya Panji” diterbitkan oleh DK Jatim. Tanggal 21 Desember, buku itu terbit, Yunani dirawat di ruang ICU. Saya bermaksud memberikannya sambil menunggu kondisinya membaik. Ternyata, Sabtu pagi, saya datang bermaksud menjenguk ke RS sambil membawa buku tersebut, SMS di HP saya sudah terdapat tiga pesan berita duka. RM Yunani Prawiranegara meninggal dunia.
Selamat jalan Panji Yunani.

Henri Nurcahyo, praktisi budaya, anggota pleno Dewan Kesenian Jatim.

Satu Tanggapan

  1. suwun mas artikelnya.. menarik.. sampean nglacak asal-usul nama.. ada keserupaan dg hobi saya nglacak asal-usul.. mirip sangkan-paran..

    nama apapun or wujud apapun, sesungguhnya refleksi dari jiwa / batin yg menyandang..

    sangat mungkin beliau memang produk dari 3 budaya ribuan taun yll yg terwakili oleh sebutan: rudolf-muhamad-yunani.. atau yahudi-arab-yunani.. dan ketiganya dikanthongi (baca reinkarnasi) di jawa timur.. salam,Pyg

Tinggalkan komentar