Kabar Baik, Wayang Orang Masih Banyak Peminat


Catatan ringan Henri Nurcahyo

Wayang Orang Sri Wedari memang magnit yang luar biasa menyedot ratusan (mungkin juga lebih seribuan) penggemarnya yang harus berebut bisa menyaksikannya. Pergelaran “Sikandi – Larasati Kembar” di Gedung Kesenian Cak Durasim semalam (26/11) penonton sangat membludak, banyak yang kecewa tak bisa masuk. Pihak Taman Budaya Jatim harus menambah kursi tambahan, toh penonton terpaksa rela berjejal lesehan di lantai dan tangga gedung atau harus puas menonton melalui layar lebar di pendopo.

Di kota asalnya, Surakarta, Wayang Orang ini memang hampir setiap hari pentas, dan banyak diminati penonton. Hanya ada tiga kelompok wayang orang yang masih eksis di negeri ini, selain Sri Wedari, ada Wayang Orang Ngesti Pandawa (Semarang) dan WO Bharata (Jakarta). Sementara di Jawa Timur sendiri memang masih ada namun hanya menunggu panggilan pentas, tidak mampu “nggedhong” sendiri.

Karena itu ketika WO Sri Wedari hadir di Surabaya, langsung disambut masyarakat dengan antusias. Calon pengunjung harus pesen kursi jauh-jauh hari, dan itu sudah penuh hanya dalam dua-tiga hari. Panitia hanya menyisakan kursi untuk undangan khusus. Toh ini juga tidak gampang karena diprotes dan dianggap diskriminasi dan mengutamakan pejabat. Serba salah.

Dan pihak Taman Budaya harus menghadapi persoalan mendadak ketika Gubernur Jatim dan Ibu Soekarwo beserta jajaran pejabat Pemprov Jatim bersedia hadir untuk menontonnya, meski sebetulnya pihak Taman Budaya hanya sekadar memberi informasi melalui protokol, tanpa mengundang langsung. Karena kedatangan orang nomor satu Jatim ini tentu saja harus disertai dengan para pejabat SKPD beserta isterinya.

“Saya diajak isteri saya,” kilah Pakde Karwo. Dan memang itulah kenyataannya. Bahwa Ibu Nina Soekarwo yang antusias utuk menonton pergelaran ini. Yang kemudian tidak biasa, adalah kejutan ketika Pakde Karwo menyampaikan sambutan dalam bahasa Jawa.

(Dalam publikasi disebutkan nama “Larasati” namun teks aslinya berbunyi “Rarasati”).

Pada mulanya tontonan ini terasa kering, penggunaan bahasa Jawa gaya Mataraman terasa kurang akrab bagi masyarakat Surabaya. Namun sekian waktu berlalu ternyata kekhawatiran arek Suroboyo tak bisa menikmati tidak terbukti. Meski ini lakon serius namun masih saja bisa diselipkan humor-humor segar dalam dialog beberapa pemain tanpa mengganggu keseriusan pertunjukan. Banyolan bukan hanya disuguhkan oleh punakawan sebagaimana biasa, bahkan tokoh Kresna (diperankan Agus Prasetyo) dan Baladewa (Sulistyanto) juga bisa melucu. Penonton berulangkali meledak tawanya karena pertunjukan ini mampu meraih simpati. Ketika Srikandi marah-marah berkepanjangan, lantas muncul celetukan nama Bu Risma. Nama Pakde Karwo juga disebut-sebut dalam dialog sehingga pertunjukan terasa interaktif tanpa terkesan mengada-ada dan mengambil muka.

Cerita “Srikandi Rarasati Kembar” ini pada intinya berkisah mengenai hilangnya pusaka milik Arjuna yang diduga dicuri oleh Srikandi (Rukayah) dan Rarasati (Mila Restu Wardati). Maka tentu saja Arjuna (Irizal Suryanto) sangat marah kepada isteri-isterinya itu sampai-sampai hendak menusukkan keris ke Srikandi. Mereka tetap mengelak, alibinya kuat, karena sepanjang waktu tidak kemana-mana, hanya bersama Dewi Sembadra (Eny Sulistyowati).

Srikandi diadili oleh keluarga besar Pandawa sebagai tersangka. Disinilah muncul dialog-dialog segar yang mengingatkan situasi sekarang, disebut-sebut CCTV segala, sampai akhirnya Srikandi dan Rarasati pergi untuk membuktikan bahwa mereka tidak bersalah.

Ternyata pencurinya adalah Nawangsih (Rahma Putri Paramita) dan Nawangwulan (Tri Haryanti) yang menyamar menjadi Srikandi palsu (Atik Setiani) dan Rarasati palsu (Erma Widhiastuti). Maka Srikandi dan Rarasati asli pun memerangi mereka setelah dialog pertengkaran yang panjang lebar tidak menyelesaikan masalah. Ketika Srikandi dan Rarasati melontarkan anak panahnya, maka pencuri itu berubah ke wujud aslinya, yaitu Nawangsih dan Nawangwulan.

Lalu muncullah sepasang anak muda gagah perkasa, bernama Gondhang Jagad (Heru Purwanto) dan Gondhang Dewa (Dhestian Wahyu Setiaji) yang mengaku sebagai anak Arjuna. Keluarga Pandawa tak begitu saja mempercayainya sebelum kedua pemuda itu berhasil menangkap dan mengembalikan pusaka milik Arjuna. Dibantu para punakawan, akhirnya kedua pencuri itu tertangkap dan dihadapkan ke keluarga Pandawa. Pada adegan penangkapan inilah pertunjukan terasa bertele-tele, terlalu panjang, meski sebetulnya tidak membosankan.

Dalang pencurian pusaka itu adalah Prabu Kondhabawono (Benedictus Billy Aldy Kusuma) yang tentu saja marah besar karena pusaka yang berhasil dicuri oleh kedua puterinya (Nawangsih dan Nawangwulan) malah dicuri lagi oleh Gondhang Jagad dan Gondhang Dewa. Beserta para pembesarnya, Prabu Kondhawono melabrak keluarga Pandawa, namun dia kaget karena kedua puterinya malah membelot. Peperangan batal terjadi, mereka pun akhirnya berdamai. Selesai.

Sutradara: RT Sulistyadipura
Dalang: Heri Karyanto
Pimpinan Karawitan: Pujiono.

Catatan: Foto-foto lebih banyak dapat dilihat di sini: https://www.facebook.com/henrinurcahyo/posts/10212271998370057

Satu Tanggapan

  1. Memang seni ini harus di lestarikan supaya tidak punah….

Tinggalkan komentar