Aksi Teatrikal Meimura di Balai Pemuda (2-habis)


Bertelanjang dada, kali ini Meimura hanya mengenakan kain hitam yang disarungkan di pinggangnya dan ikat kepala berwarna merah. Keluar dari pojok belakang (bekas) masjid, dia berjalan tanpa alas kaki, membawa cobek kecil berisi cairan putih. Langkah-langkahnya teratur dan cekatan tanpa kesan terburu-buru.

Melewati perpustakaan Kota Surabaya, Meimura menyusuri selasar Balai Pemuda, mengarah ke timur, keluar halaman, menyisir jalan raya, dan kembali memasuki halaman gedung DPRD Kota Surabaya. Mei langsung menghadap ke petugas penerima tamu: “Pak Ketua sudah datang?” Jawaban yang sama lagi-lagi diperolehnya sebagaimana dua kali kedatangannya tadi. Bahwa Ketua DPRD Kota Surabaya pada Senin pagi (27/11) sekitar pukul 10.30 memang belum masuk kantor.
Kepada penerima tamu itu Meimura menyodorkan cobek. “Ini adalah bubur sumsum, sangat bermanfaat untuk kesehatan, dapat meningkatkan energi. Karena Pak Ketua belum hadir, saya akan menyajikan bubur ini dengan sebuah karya bernama Polah Tanpa Aran.” (bergerak-gerak tanpa nama, hn).

IMG_8361 (640x427)

Kemudian Meimura bergeser ke serambi gedung, persis di tengah pintu masuk. Dia duduk dan bergerak-gerak, melaburkan cairan putih itu ke seluruh tubuh bagian atas, juga ke wajah. Dari duduk lalu berdiri, tangannya bergerak-gerak ke berbagai arah. Tubuhnya menggeliat-geliat, mulutnya terbuka seperti berteriak kesakitan namun tanpa suara. Selama aksi itu sejumlah petugas keamanan internal DPRD sama sekali tidak melakukan apa-apa, hanya menonton, ada yang mengambil gambar dengan kamera seluler.

Beberapa menit kemudian Meimura melangkah keluar halaman, melawan arus di Jalan Yos Sudarso, berdiri sejenak di seberang Zangrandy. Dia seolah kehilangan kata-kata lagi untuk menyampaikan uneg-unegnya. Suara hati para seniman. Suara hati para mereka yang masih sadar sejarah, bahwa Balai Pemuda adalah paru-paru budaya di kota ini.

Bahwa mereka yang menyebut dirinya wakil rakyat ternyata tidak memiliki kepedulian terhadap hancurnya Masjid As Sakinah. Mereka tidak peduli kawasan Balai Pemuda akan disterilkan dari komunitas seniman. Para wakil rakyat itu tahunya bahwa akan ada gedung baru untuk mereka yang megah, menjulang tinggi, dan direncanakan berdiri di atas (bekas) masjid yang hampir dirobohkan itu. Meimura menatap jalanan ramai dengan mata kosong. Mulutnya kelu.

Meimura melangkah masuk ke halaman Balai Pemuda, langsung menuju depan reruntuhan masjid As Sakinah. Aksi yang sama dengan di depan gedung DPRD tadi dilakukan lagi. Kali ini dia membuka ikat kepalanya, melaburkan cairan putih ke sekujur kepalanya yang plontos. Mulutnya terbuka lebar, berteriak kesakitan, marah, namun tanpa suara.

Begitulah, sebagai seniman Meimura sudah meluapkan ekspresinya melalui aksi teatrikal. Mei yang juga pernah dibesarkan di Balai Pemuda merasa terusik ketika “rumahnya” hendak digusur. Ini bukan sekadar soal masjid, tetapi perihal ketidak-pedulian Pemkot terhadap pembangunan manusia. Dikira soal kesenian itu hanya urusan fisik semata. Sekretariat DKS dan BMS akan digusur dengan alasan tidak ada dasar hukum penempatannya. Pemkot menggunakan pendekatan juridis formal. Pemkot lupa bahwa para pemuda dan seniman itu memiliki Hak Historis berada di Balai Pemuda. Apa Walikota Surabaya tidak baca sejarah?

Kompleks Balai Pemuda adalah salah satu pusat perlawanan arek-arek Suroboyo menentang penjajah. Di tempat inilah markas Angkatan 66 ketika PKI merajalela. Bahkan ruangan kecil di sisi timur Balai Pemuda juga pernah dijadikan sekretariat Yayasan Angkatan 66. Di tempat yang sama pernah ada Akademi Seni Rupa Surabaya (Aksera) yang pernah melahirkan nama-nama besar seniman yang ikut mengharumkan kota ini. Sebut saja Basuki Rachmat, Amang Rahman, M. Daryono, Gombloh, Leo Kristi, M. Roeslan, Gatut Kusumo, semuanya sudah almarhum. Semoga saja mereka tidak gusar di alam abadi sana. (hnr)

Foto-foto lainnya silakan klik: https://www.facebook.com/henrinurcahyo/posts/10212273287522285?pnref=story

Tinggalkan komentar